Tidak Baik-Baik Saja
August 23, 2021 Sahabat-sahabat terdekat, pacar, atau orang-orang yang mengikuti blog ini mungkin tahu. Saya tidak sehat. Saya sudah dibatas kemampuan saya untuk menjadi baik-baik saja.
Saya tidak lagi bekerja, tidur terus, anxious, sedih, menangis, agitate, berat badan naik.
Saya sudah kehabisan cara untuk coping up dan bertahan. Sudah banyak orang yang membantu. Pacar sudah sangat supportif mendukung, mendengarkan, menghibur, menemani. Beberapa sahabat memberi nasihat-nasihat dengan maksud baik. Saya sudah kehabisan cara, kehabisan cara untuk menghindari satu-satunya jalan penyelesaian. Pergi.
----
Saya pernah mengalami stress paling berat karena patah hati ditinggal dari hubungan yang lama. Saya sering stress akan kegagalan karena melakukan sesuatu. Tapi tidak pernah seperti ini. Tidak ada yang seperti ini. Ini berbeda. Saya tahu ini depresi. Saya tahu saya butuh bantuan orang lain.
I take the step. I contact a friend, a psychologist.
Sama seperti sesi lainnya ketika membicarakan soal ini ke mas pacar atau ke sahabat. Saya menangis. Terisak-isak. Deras. Kencang. Jane, teman saya sekaligus psikolog mendengarkan saya dengan penuh compassion. Saya yang berbulan-bulan selalu menampik dan mencoba mengganggap ini sebagai hal sepele, merasa terharu karena divalidasi oleh Jane. Jane bilang struggle saya ini valid. Saya depresi ini valid. Begitu pun soal kebutuhan saya untuk keluar dari sini.
Dalam buku yang saya baca soal therapist, "Maybe You Should Talk To Someone", Penulisnya menjelaskan ada 4 "Ultimate Concerns" yang umumnya mendorong seseorang untuk mencari bantuan untuk kesehatan mentalnya. yaitu,
1. Death
2. Meaninglessness
3. Freedom
4. Isolation
Saya mengalami ke empat-empatnya.
Saya merasakan kematian perlahan seorang Alifa yang saya kenal. Yang bersemangat, yang keras kepala, yang produktif, yang aktif, yang tidak judgemental, yang tidak mendengar cuap-cuap orang. Saya tidak menyukai Alifa yang sekarang.
Saya merasa tidak berarti. Saya merasa saya bisa melakukan lebih, apalagi diumur saya yang lagi di usia-usia produktif-produktifnya. Saya ingin jungkar balik mengejar passion saya.
Betul di tempat ini posisi saya sudah tinggi. Di tempat ini, saya datang dan ditaruh diposisi pengemudi. Tapi semua tau tangan saya tidak memegang setir. Semua tahu yang punya mobil belum mau memberikan setirnya kepada orang lain.
Saya ingin lari. Saya tidak ingin menghabiskan masa muda disini.
Sebagai seorang extrovert, saya merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan. Physically dan Mentally. Saya tidak berteman di kota ini. Yang ada hanya karyawan. Saya bahkan tidak bisa keluar ke depan rumah tanpa memikirkan apa yang dilihat dan terlihat oleh orang. Saya tidak bisa bermain di kota ini tanpa memikirkan apa yang akan dikatakan oleh orang. Tidak ada tempat untuk lari selain kamar sendiri. Kabur berlibur ke kota lain pun sulit, hanya sekali atau dua minggu sekali. Itu pun diberi dengan muka masam, dan lengosan tidak nyaman.
Saya terisolasi, di rumah sendiri.
Setelah percakapan panjang dengan Jane, kami berhasil menarik benang, menyimpulkan faktor terbesar yang mempengaruhi hidup saya saat ini. Semua yang ingin saya lakukan, yang saya fikirkan, keputusan-keputusan, yang saya katakan, semuanya bermuara ke bagaimana pengaruhnya kepada harga diri orang tua saya. Semua kata orang yang saya hindari, saya lakukan bukan untuk diri sendiri, tapi untuk menjaga martabat mereka. Saya terlalu berusaha menjaganya, terlalu berusaha untuk menyenangkan hati mereka, sampai lupa menyenangkan hati sendiri.
"fa, kita gak bisa membuat orang lain happy kalau kita sendiri tidak happy." kata Jane.
Sebagian besar dari hati saya berharap bukan saya yang harus mengajukan proposal ini. Bukan saya yang meminta pergi. Sebagian besar dari hati saya berharap orang tua saya yang menyadari tempat saya bukan disini. Yang datang dan berkata,
"ifa sudah belajar banyak setahun disini. Ifa mau ngapain, yaudah kejar lagi, lari lagi. Bagaimana mengatur, mengawasi dan seberapa besar keterlibatan Ifa untuk perusahaan ini, nanti kita diskusikan lagi."
Tapi saya tahu, hal ini tidak akan terjadi. Orang tua saya sendiri yang bilang tidak akan melepas saya kecuali orang lain datang mengambil saya. Saya tahu, menikah adalah cara paling hormat menurut orang tua saya untuk keluar dari rumah tanpa terkesan egois. Saya tahu, hal ini sangat mungkin untuk dilakukan.
Tapi saya tidak mau. Tidak dengan cara ini. Saya tidak mau keputusan menikah saya dikotori karena keinginan saya untuk hidup mandiri. Saya ingin menikah karena saya siap hidup penuh cinta dengan orang lain. Tidak seperti ini.
Saya takut menjadi egois. Saya takut keinginan saya ini nantinya akan membuat rugi banyak orang. Saya takut keinginan saya ini nantinya akan menyakiti orang tua saya. Saya takut, bahkan untuk menyampaikan keinginan ini. Saya menyerah untuk melakukan diskusi tanpa mulai diskusi karena saya tidak mampu kalau saya harus gontok-gontokan meyakinkan mereka kalau mental saya tidak sehat disini.
Saya tidak baik-baik saja. Setiap hari masih berusaha untuk produktif lagi. Tidak depresi lagi.
Semoga di umur 24 nanti, saya bisa kembali baik-baik saja.
Apa kado terbaik untuk saya saat ini?
If my parents let me spread my wings and fly.
0 komentar