PULANG

July 20, 2020



Di umur 23 kurang sebulan ini, saya memutuskan untuk kembali ke rumah, menetap untuk entah sampai kapan. Di saat orang-orang seumuran saya justru mencari cara untuk tinggal sendiri, saya justru kembali. Menetap dirumah setelah 11 tahun lamanya pergi.

11 tahun terakhir ini, kembali ke rumah rasanya seperti melakukan gateaway dari sibuknya ibu kota. Seperti basa-basi yang dilakukan jika ditelfon orang tua untuk datang. Sejak umur 12 tahun, saya sudah pergi untuk sekolah berasrama. Pulang sebulan sekali dengan kurun waktu menetap hanya hanya 2 hari. Jikalau ada libur panjang, pasti pada hari raya besar, yang artinya kami sekeluarga berwisata dibanding tinggal dirumah. Hal ini berlangsung sampai saya lulus SMA. Masuk kuliah, saya akhirnya punya kamar sendiri berupa ruang 3x3 di salah satu kosan di Jakarta Barat. Saya yang sudah terbiasa jauh dari keluarga semakin sibuk sendiri dan pulang mungkin hanya 3 bulan sekali. Itu pun hanya weekend. Sosok fisik "rumah" sudah lama tidak menjadi rumah. Saya sudah lama menjadi tamu. Tidak berjejak di rumah sendiri. Jika pun ada, bentuknya adalah buku-buku yang berbaris di sudut lemari dan pose-pose foto dari momen yang tidak terlalu saya suka. Sisanya? tidak ada. Sampai tahun ini. 

2020, seperti yang semua orang rasakan, adalah tahun yang berat. Rasanya tahun ini sakit datangnya bertubi-tubi dan tidak berhenti. Saya yang sejak akhir tahun kemarin sudah lunta-lantu di Jakarta semakin payah rasanya untuk tinggal. Grogol tidak lagi terasa seperti rumah. Kamar 3x3 hanyalah ruang untuk mengisi badan dan emosi yang tidak tahu mesti dilimpahkan kemana. Kalau bukan kantor saya yang ceria, mungkin Jakarta Barat hanya jadi kendi yang sepi, yang isinya hanya kenangan berbau kencur anak baru kampus dengan saya sendiri yang belum beranjak juga. Februari lalu saya sudah berfikir untuk pindah dan mencari peruntungan baru di daerah lain Jakarta, ternyata pandemi berkata lain. Pandemi yang mengacak-ngacak rencana banyak orang. Pandemi yang menuntut semua orang untuk mengisolasikan diri. Pandemi yang membuat saya tinggal dirumah cukup lama, 3 bulan, rekor saya sejak 11 tahun terakhir mungkin. Pandemi yang membuat saya memutuskan untuk pulang. 

Ada beberapa faktor besar yang saya pertimbangkan untuk akhirnya mengambil keputusan ini;

1. Kamar pribadi

Ini sebetulnya sepele tapi tidak bisa dikompromi. Kamar pribadi sangat penting buat saya karena se-extrovert apapun saya masih butuh ruang sendiri untuk mengisi energi, atau setidaknya untuk menangis tanpa direcokin orang lain. Sebetulnya ibu sudah lama menyiapkan kamar untuk saya, tapi lokasinya yang dipojok dan gelap membuat saya ragu untuk tinggali. Apalagi hanya untuk ditempati selama 3 hari per 3 bulan. Selama pandemi, saya sering kabur menyendiri di kamar tamu, dan jadi betah. Sungguh kebetulan yang aneh. Saya yang merasa sebagai tamu dirumah, akhirnya punya kamar, yang sebelumnya adalah kamar yang diperuntukan untuk tamu.
I'm making myself at home, at home. 

2. Pekerjaan

Setelah bekerja selama 2 tahun di salah satu konsultan arsitektur dan interior di Jakarta. Saya merasa senang sekaligus tidak bergairah karena rasanya visi hidup saya kurang. Saya ingin melakukan sesuatu yang besar dan berefek dalam memperbaiki standar hidup banyak orang. Dan hal ini tidak bisa saya dapatkan dengan membuat ruang untuk mereka yang gaya hidupnya pun sudah berlebihan. Sudah lama saya ingin pindah ke jurusan lain, yang sudah saya tau apa. Dan perhotelan bukanlah salah satunya. 

Saya melihat perhotelan sebagai jalan memutar, yang harus saya pelajari sampai cukup khatam agar cukup kuat untuk dipegang jika genggaman di atas saya mendadak lepas. Perhotelan bukan tujuan saya, tapi juga bukan sesuatu yang bisa saya lepaskan begitu saja. Masih banyak mimpi yang ingin dikejar, namun kali ini, saya memutuskan mengambil jalur yang memutar. 

3. Tidak ada apa-apa di Jakarta

Klise. Tapi setelah PSBB diangkat dan saya kembali ke Jakarta, rasanya ada yang kurang disana yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Mallnya tidak lagi menarik, kerumunannya tidak asik. Betul memang, banyak makanan yang saya cinta banget dan hanya ada disana. Tapi itupun hal yang masih bisa saya lakukan dengan melakukan perjalanan 2 jam jika niat. 

Selain itu, untuk sekian lama, keinginan kembali ke Jakarta adalah keinginan untuk pulang ke pelukan seseorang. Pelukan ini tidak ada lagi, begitupun kesadaran saya bahwa home is not a place. it's the people. And when the people is gone, so does the home. 

So then I go and spend the time well with people that feels like home, you know, when they're still around. 

4. Corona Virus

3 bulan kemarin, wabah ini merenggut banyak orang. Banyak wajah dan nama-nama tokoh terkenal yang ikut berpulang. Orang tua teman, atau tetangga. Ibu saya sempat sakit karena virus ini. Dadanya yang memang lemah, membuat sakit ini cukup lama perginya, sekitar 2 bulanan. Semua hal ini seperti tamparan untuk saya bahwa ya umur emang pendek sekali dan bisa diambil dengan tiba-tiba. Saya tidak boleh menyesal jika tiba-tiba semua menghilang. Saya harus mempersiapkan apa yang harus dipersiapkan sebelum semuanya hilang. 

5. Retreat 

Lagu "Kereta Ini Melaju Cepat" sudah saya ulang berpuluh-puluh kali sejak pertama kali dirilis. Liriknya bercerita tentang ketidakmampuan untuk mengejar semua yang bergerak. Ketidaksiapan untuk menyambut hal-hal asing. Keinginan untuk rehat, berjalan lebih lambat dan memulai lagi dengan energi baru untuk mengejar kereta berikutnya.

Kembali ke rumah yang jauh dari Ibukota berarti mengambil nafas. Dan saya butuh bernafas lebih baik lagi.   

------


Tinggal di Grogol selama 7 tahun terakhir sangat menyenangkan. Terimakasih kamar 3x3ku, i love you forever. Dan untuk kamu, yang menemani selama 3 minggu terakhir. Terimakasih sudah membuat Grogol rumah yang menyenangkan untuk bertahun-tahun lamanya.  

Seperti kartu yang saya ambil hari ini, Ace of Swords, Three of Swords (rx), dan The Hermit:

Here's to new breakthrough, to new opportunities, to new beginning. Here's to hearts that are coming to acceptance, and healing. To the heart with no resentment. And here's to the walk and perseverance, taking step to another to figure things out. Letting it stay unknown for the future is predetermined and not everything will be revealed all at once. May our steps bring us to the better things. 

Dan untuk sekarang, Aku pulang, bun.





You Might Also Like

0 komentar

WHO'S IN THE POCKET?

My photo
Hi, It's Ifa! A proud multitasker, your neighborhood weeb lady, and a human equivalent of overly enthustiatic cat.

Popular Posts