The Thing You Can See Only When You Slow Down
February 29, 2020
Rating: 4/5
When everything around me is moving so fast, I stop and ask, “Is it the world that’s busy, or is it my mind?”
Setelah minggu yang panjang dan bacaan saya Haikyuu! yang akhirnya terkejar ke chapter terbaru, datang juga sabtu pagi yang lambat, gerimis dan kalut. Waktu yang tepat untuk membaca buku yang saya pinjam dari Fairfax ini dalam sekali duduk. Pengarangnya, Haemin Sunim adalah seorang rahib dan guru Zen Buddha maka prinsip yang dipaparkan dalam buku berdasarkan agama Buddha.
Saya memulai buku dengan perasaan kalut. Menutup buku dengan perasan lebih ringan dan peaceful. Sebetulnya apa yang dibicarakan dalam buku adalah hal-hal yang khususnya sudah kita pahami dan didengar berulang-ulang. Namun ada beberapa point menarik yang saya highlight.
Haemin Sumin memulai dengan membahas soal semesta dan fikiran. Perspektifnya, semesta ada karena apa yang kita fikirkan. Maka bagaimana semesta kita terbentuk dimulai dari bagaimana kita mengontrol fikiran, sudut perspektif mana yang akan dilihat. Suatu konsep dasar tapi sering sekali luput. Haemin menggambarkan soal ini pada pepatah terkenal Buddha:
"everyone appears as buddhas in the eyes of buddha and everyone appears as pig in the eyes of a pig."
Haemin bilang, kalau ya semesta gini-gini aja. Kalau ada yang komentar "hidup kok gini amat ya", jawabannya kembali ke diri sendiri dan cara kita memandang. Jangan salahin semestanya.
The world has never complained about how busy it is.
Poin berikutnya yang menarik adalah dengan memandang emosi/perasaan sebagai suatu hal yang diluar kontrol. Hal ini seperti memetakan emosi ditempat yang berbeda dengan fikiran. Sarannya, dalam memandang perasaan, kita harus memposisikan diri sebagai orang ketiga dan melakukan satu hal: observe. Observe inilah yang sering kita kenal sebagai meditasi.
Haemin menggambarkan emosi seperti awan pada langit. Pada akhirnya, awan akan lewat dan mengembalikan bentuk awalnya: langit yang biru dan luas.
Remember that you are neither your feelings nor the story your mind tells about you to make sense of them. You are the vast silence that knows of their emergence and their disappearance.
Mengobservasi perasaan berarti juga tidak gegabah dan bertindak secara impulsif. Mengobservasi perasaan berarti memeriksa maksud sebenarnya dan mendengar apa yang diinginkan alam bawah sadar. Hal ini menarik, karena selama ini yang saya ketahui adalah "untuk mengatasi" bukan "observasi dan berteman".
Beberapa waktu yang lalu, teman saya pernah bercerita kalau dia punya kapsul waktu. Kapsul waktu ini dia gunakan untuk memilah fikiran dan menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan waktu. Konsep ini keren sekali. Terkadang kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tidak bisa diapa-apakan untuk saat ini, padahal hanya waktu yang bisa jawab. Cara lain untuk memandang hal ini, Haemin kembali lagi dengan ajaran Buddha, untuk melatih hidup di momen yang ada. Tidak hidup dibelakang, ataupun memikirkan yang masih jauh didepan.
Singkatnya, The Thing You Can See Only When You Slow Down mengindahkan untuk tidak terlalu sibuk dengan hal-hal tidak penting. Bagaimana menyikapi ego. Bagaimana merespon segala sesuatu. Bahwa semua ada waktunya. Buku ini mengajarkan bagaimana melihat dunia, secara spiritual tanpa terlalu ngoyo kespiritual. Terakhir, untuk sekali-kali mengambil jeda, duduk diam dan mengobservasi diri dari orang ketiga, untuk apa? untuk melihat dengan lebih jelas dan mengapresiasi segala sesuatunya dengan lebih baik.
Life isn’t a hundred-meter race against your friends, but a lifelong marathon against yourself - Haemin Sunim
When everything around me is moving so fast, I stop and ask, “Is it the world that’s busy, or is it my mind?”
"everyone appears as buddhas in the eyes of buddha and everyone appears as pig in the eyes of a pig."
The world has never complained about how busy it is.
Poin berikutnya yang menarik adalah dengan memandang emosi/perasaan sebagai suatu hal yang diluar kontrol. Hal ini seperti memetakan emosi ditempat yang berbeda dengan fikiran. Sarannya, dalam memandang perasaan, kita harus memposisikan diri sebagai orang ketiga dan melakukan satu hal: observe. Observe inilah yang sering kita kenal sebagai meditasi.
Haemin menggambarkan emosi seperti awan pada langit. Pada akhirnya, awan akan lewat dan mengembalikan bentuk awalnya: langit yang biru dan luas.
Remember that you are neither your feelings nor the story your mind tells about you to make sense of them. You are the vast silence that knows of their emergence and their disappearance.
Mengobservasi perasaan berarti juga tidak gegabah dan bertindak secara impulsif. Mengobservasi perasaan berarti memeriksa maksud sebenarnya dan mendengar apa yang diinginkan alam bawah sadar. Hal ini menarik, karena selama ini yang saya ketahui adalah "untuk mengatasi" bukan "observasi dan berteman".
Beberapa waktu yang lalu, teman saya pernah bercerita kalau dia punya kapsul waktu. Kapsul waktu ini dia gunakan untuk memilah fikiran dan menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan waktu. Konsep ini keren sekali. Terkadang kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tidak bisa diapa-apakan untuk saat ini, padahal hanya waktu yang bisa jawab. Cara lain untuk memandang hal ini, Haemin kembali lagi dengan ajaran Buddha, untuk melatih hidup di momen yang ada. Tidak hidup dibelakang, ataupun memikirkan yang masih jauh didepan.
Singkatnya, The Thing You Can See Only When You Slow Down mengindahkan untuk tidak terlalu sibuk dengan hal-hal tidak penting. Bagaimana menyikapi ego. Bagaimana merespon segala sesuatu. Bahwa semua ada waktunya. Buku ini mengajarkan bagaimana melihat dunia, secara spiritual tanpa terlalu ngoyo kespiritual. Terakhir, untuk sekali-kali mengambil jeda, duduk diam dan mengobservasi diri dari orang ketiga, untuk apa? untuk melihat dengan lebih jelas dan mengapresiasi segala sesuatunya dengan lebih baik.
Life isn’t a hundred-meter race against your friends, but a lifelong marathon against yourself - Haemin Sunim
0 komentar