Soul-Talking in Quarantine
April 14, 2020
Genap sebulan karantina Covid-19 ini saya jalani. Sebulan juga saya habiskan dirumah, menemani Ibu lalu kemudian ayah, yang sempat positif mengidap corona. Selain bekerja, memasak, membaca buku, dan bermain, saya juga banyak berfikir. Ruang yang diberikan khusus oleh covid-19 untuk kita yang terlalu tergesa-gesa mengejar semua yang ditawarkan dunia.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang berjalan sangat cepat, 2020 ini lambat sekali. Saking lambatnya rasanya apa yang biasanya saya pelajari setahun sudah terangkum dalam 4 bulan terakhir. Termasuk tentang pergulatan diri. Sebuah proses yang ingin saya ceritakan.
1) Silence is a bliss
Saya punya dua socmed yang aktif digandrungi setiap harinya: twitter dan instagram. Saya ikut bergabung dan aktif di dalamnya sudah lama. Membagi fikiran, membicarakan gosip dan berita terhangat. Rasanya baru kali ini saya mundur beberapa langkah, dan menjadi akun pasif. Mengikuti saran Haemin Sumin, kali ini saya mencoba memposisikan diri sebagai pengamat. Mengobservasi kehidupan orang tanpa ikut melibatkan diri. Menahan diri untuk tidak beropini adalah hal yang paling sulit terutama untuk saya yang basisnya sangat terbuka dan senggol dikit cerita. Mau gimana lagi, berbicara adalah jalan ninjaku passionku.
Di dunia yang sudah serba online, ber-eksistensi di social media sama saja dengan melakukan pencitraan. Jangan tersinggung kalau orang lain menilai kita hanya dari apa yang kita tunjukan disana. Apalagi dengan situasi pembatasan sosial seperti ini, sudah sewajarnya terjadi.
Ada kelegaan yang asing dalam mengambil peran pasif di social media. Melepas topeng, yang baru saya sadari, konstan digunakan. Menjadi jujur dengan emosi dan overthinking tanpa perlu direka ulang atau dikemas lagi agar tidak terlihat memalukan.
Di dunia yang konstan berbicara, ternyata menjadi diam itu bisa menyenangkan.
2) Quarter Life Crisis
Seperti yang saya bilang, meninggalkan hiruk piruk dunia artinya lebih banyak waktu untuk duduk dan berbincang dengan diri sendiri. Sebelumnya saya tidak pernah menganggap overthinking yang saya hadapi sebagai sesuatu yang besar. Namun kali ini dengan intensitas dan cakupan yang semakin luas, rasanya sudah pantas untuk menamakan kegelisahan ini sebagai sebuah krisis.
Semakin tua, semakin banyak persoalan yang saya pertanyakan. Garis antara benar dan salah, nilai-nilai yang saya yakini, tentang kedewasaan dan tanggung jawab besar.
Saya yang umur 22 tahun masih belum punya rancangan masa depan yang panjang, investasi, bahkan kesiapan mental. Saya yang masih sering stress karena hal-hal sepele. Saya yang cinta manga, dan hal-hal yang menurut banyak orang berbau kekanak-kanakan. Saya yang masih tinggal bersama orang tua. Saya yang masih kesulitan mendisiplinkan diri. Saya yang takut.
Saya melihat orang tua mengurus bisnisnya yang besar dan karyawan yang ditanggung di masa goncang seperti ini. Apakah saya sanggup mengambil tanggung jawab sebesar itu?
Melihat teman yang umur 17 tahun sudah hamil. Saya takut, apakah saya yang rasanya masih kekanak-kanakan mampu menjadi seorang ibu yang baik?
Melihat orang yang karirnya luar biasa. Apakah mampu saya yang rasanya masih gini-gini aja mencapai itu?
Saya melihat pasangan yang sudah menemukan tambatannya hatinya di satu sama lain. Apa ada orang yang memilih saya seyakin saya memilih mereka untuk selamanya?
Saya takut mengambil resiko. Dan untuk seorang Alifa yang impulsif, takut mengambil resiko adalah krisis yang teramat besar.
Quarter life crisis untuk saya bukan hanya tentang mencari jawaban, tapi juga mencari lagi keberanian yang hilang. Semoga ya, semua yang dicari cepat ditemukan.
3) Healing
Emosi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari manusia. Dan saya, seperti banyak wanita umumnya, diciptakan dengan porsi merasakan yang lebih banyak. Saya tidak baik-baik saja dan masih dalam proses menuju kesana. Hal ini tidak dalam konteks menyedihkan. Saya bisa makan banyak, tidur nyenyak, beraktivitas seperti biasa bahkan bisa tertawa terbahak-bahak. Tapi ada bagian saya yang masih berantakan. Masih ada serpihan yang hilang dan enggan berkumpul kembali. Masih ada bagian diri saya yang marah. Dan seperti semua hal yang perlu dirawat, hal-hal ini membutuhkan waktu.
Proses healing satu langkah lebih mudah untuk saya karena saya sudah lama punya kesadaran self-love. Adapun begitu, ternyata masih banyak area yang harus saya kenali lagi.
Being alone means you have time to sit long enough to think, contemplating your needs, of what is right, what you deserved, and what it is that you could offered.
Karantina masih panjang begitu pun waktu yang akan kita habiskan bersama dengan diri sendiri.
Might as well make a peace with it.
0 komentar